Selasa, 26 Oktober 2021

Satu Langkah Kecil Menjadi Dewasa

Beberapa blog lalu suasanya terlihat murung ya? Hmm mungkin tanpa sadar, dengan berjalannya pandemi sampai sekarang dan banyak banget denger berita sedih maupun duka, nggak tertolong lagi alam bawah sadar minta dilepasin rasa murungnya. Huw. 

 

Anyway, sekarang situasi perlahan berangsur membaik. Angka positivity rate sudah mulai menurun, ngiung-ngiung ambulans sudah jarang terdengar, toa masjid yang ngumumin Innalillahi udah nggak terdengar lagi. Kita udah mulai boleh kumpul-kumpul dan sejauh ini masih cukup terkendali soal pakai masker dan keramaian. Mungkin banyak dari kita yang udah ngerasain gimana ga enaknya kena covid dan mengubah kesehariannya. Lalu kemarin ini, berkesampatan ngumpul bareng deh sama temen sma (hedith, ditha, dan herny). 

 

Seperti biasa, kita ngobrol ngalor ngidul tentang kabar, keseharian, keluarga dan sebagainya sebagai pemanasan. Kita tau percakapan berjalan lancar ketika udah masuk ngomongin daftar panjang mantan ditha pas sma. Kayak, beneran panjang banget dan kita harus saling ingetin ini yang mana dengan deskripsi kejadian aneh-anehnya aja gitu. Kayak, “mantan ditha yang X, yang pernah nembak sambil gigit bunga mawar!” atau “ih, cowok Y yang pernah ngeboncengin ditha di lampu merah permata ijo, terus digepin sama pacarnya ditha yang C di tengah jalan gara-gara kuteknya gonjreng!”. Lo, akan hidup dengan memori itu diotak kita tha. Luv u. 

 

Setelah sesi kuis mantan ditha yang mana selesai, baru kita ke topik geng pas SMA. Off course ada beberapa kejadian yang selalu jadi inti masa SMA kita. Tapi pas pertemuan kemarin, pembahasannya lebih mendalam dan gue nyadarin satu hal penting yang mungkin mempengaruhi kehidupan sosial kami. Biasalah, pas SMA pasti kita nge-geng. Pada saat itu, kita punya 1 geng dengan 13 anggota. Dalem hati, lu bikin pertemanan apa klub bola tong? Dan di pertemuan itu, gue diingetin lagi kalo kita tuh sempet ada geng di dalem geng yang ngebuat kita pecah dan ga bareng lagi. Di sini menariknya. 

 

Di umur 16, kita terbiasa untuk ngelakuin hal berdasarkan insting, secara impulsif, dan beraniMasih ada besok, apa sih yang ditakutin? Jadi ketika gue dikasih tau ada geng di dalem geng, yaa udah mau gimana lagi. Udah ada gerak-gerik saling ngehindar dan jaga jarak, jadi buat apa dikejar. Tapi terus memori gue nge-recall. Instead of ngebiarin mereka ngehilang dan bersikap kayak ngaak ada apa-apa, kita (gue lupa siapa yang inisiatif duluan), justru kumpul ber-13 di rumah hedith dan ngomongin masalah ini bareng-bareng. Intinya, mereka nggak suka kalo tiap istirahat dipaksa untuk harus kumpul bareng di depan salah satu kelas (menurut pemikiran gue juga, ngapain juga yak) dan kalo absen besokannya disindir. Masuk akal alasan mereka. Jadi yang kita lakuin pada sore itu, kita setuju untuk bubaran dan saling peluk-pelukan. Besokannya dan hari-hari berikutnya, hubungan kita jauh lebih baik dan sehat dari sebelumnya.

 

Gue mau apresiasi diri sendiri sama sahabat-sahabat gue pada saat itu. Kita semua masih muda, ada masalah dengan kelompok, dan kita bisa nyelesaiin dengan bicara baik-baik dan move on dari kejadian itu. Gila, orang dewasa aja belum tentu bisa ngelakuin hal itu. Mungkin ini jadi tahapan pembelajaran gue bahwa, kalo ada konflik tuh bisa loh diselesaiin dengan baik-baik. Semua pihak berkenan untuk saling mendengarkan, menyuarakan, dan menghargai apa yang dilakukan. Setelah keputusan sudah dibuat, bertanggung jawablah dan move on. Gue bersyukur banget di masa muda itu bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa ngebuat masa dewasa gue sedikit lebih menenangkan. Gue ternyata bisa nyelesaiin satu masalah besar tanpa harus memutus silahturahmi yang lain. 

 

Gue beruntung, lingkungan membawa gue ke tempat yang baik dan orang di sekitar cukup men-challengepemikiran untuk selalu berpikiran terbuka. Ini privilege, yang gue yakini dari doa yang dipanjatkan alm mama dan papa dari dulu. Gue berharap, naren juga diberi keberuntungan dan keberkahan untuk dikelilingi orang baik, yang bisa mengantarkan dia ke tempat yang lebih baik lagi. Sehingga dia cukup untuk mengenali dirinya, mengingat Allah dalam setiap tindakannya, serta bermanfaat bagi dirinya, orang di sekitarnya, dan lingkungannya. Amiin...

Sabtu, 11 September 2021

Beautiful Soul

 Saat berumur nanti, aku pingin kayak yangkung sutopo. Bayangin: Di suatu sore di kota Malang (atau kota mana pun yang sejuk dan udaranya seger banget!) kamu duduk di kursi teras sambil menunggu kopi hitam yang ada di sebelah mejamu tidak begitu panas. Kamu berdiri lalu menuju piano, kemudian melantunkan beberapa lagu untuk melatih kembali ingatanmu. Setelah dirasa cukup, kamu kembali pada kopimu lalu menghabiskannya, dan segera membersihkan halaman mungilmu agar kembali asri.

 

Di lain hari, kamu fokus menyelesaikan lukisan cat minyakmu yang rata-rata berisikan gambar bunga, sekumpulan orang bermain musik, atau pemandangan. Kalau pada sore itu kamu masih penuh energi, kamu akan menelpon teman-temanmu (yang jarak umurnya mungkin sepantaran anakmu) untuk bertemu di lapangan tennis dan memainkan permainan dengan santai. Atau ada hari di mana para tetangga melihatmu dengan vespa biru itu, sambil menenteng buah semangka di dalam tas jaring coklatmu, yang disangkutkan di bagian tengah motor. 

 

Yangkung, beneran deh. Pas masih kecil dulu, pemandangan ini terlihat sangat biasa dan nggak ada yang spesial. Tapi begitu aku beranjak dewasa dan melihat banyak hal, hal yang biasa ini jadi tujuan aku saat berumur nanti. Saat yangkung ke Jakarta, yangkung akan bergilir bermalam ke rumah anak-anak yangkung. Yangkung membuat teman baru di komplek tempat tinggal kami, untuk diajak olahraga tennis bareng. Yangkung membuat teman di mana pun yangkung berada. Mereka semua mengingat yangkung sebagai seorang yang hangat dan penuh energi. 

 

Yangkung nggak pernah banyak bicara, tapi dalam diamnya punya kemampuan untuk membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Selalu membaca buku atau koran di waktu senggangnya, sehingga saat berbicara dengan orang lain, punya sudut pandang yang luas. Aku selalu suka pemandangan teras rumah mayang saat menjelang waktu lebaran. Anak-anak yangkung duduk melingkar, sambil bercanda satu sama lain hingga larut malam. Para cucu sibuk makan bakso atau berebut skateboard,yang sampai sekarang kita semua nggak ada yang tau cara pakenya gimana. 

 

Saat kepergian oma, yangkung menolak tinggal di Jakarta dan memilih tinggal sendiri di Malang. Aku saat itu terlalu muda untuk tau atau paham apa yang bisa ku lakukan untuk menemani yangkung. Padahal aku bisa ya telpon yangkung untuk sekedar bertanya kabar dan menceritakan hariku dan mengunjungi yangkung saat berlibur. Lalu saat yangkung berpulang, MashaAllah, banyak banget temen-temen yangkung. Yangkung begitu dicintai! Dan kak santi menyadarkan aku, keluarga sutopo ini adalah panutan dalam berkeluarga. Mulai dari akhlak, cara berkomunikasi, sampai belajar batas dan menghargai sifat tiap individu.

 

Yangkung, terimakasih telah memberikan contoh serta menginspirasi. Aku beberapa kali mimpiin yangkung dan beneran kangen banget sama yangkung. Kami semua di sini hidup dengan baik serta rukun, yangkung. Salam untuk mama dan oma di sana yaa...




Tulisan yangkung tentang perjalanan hajinya

Manis, kan?


Jumat, 03 September 2021

Ke Mana Perginya Mereka yang Sudah Meninggal?

Saya tau, mereka berada di akhirat sedang menunggu datangnya hari kiamat, menunggu waktu perhitungan tiba. Itu yang saya pelajari sejak sekolah dasar, sampai saat ini diyakini, sambil menunggu waktunya tiba. Pertanyaan di atas itu bukan ditujukan untuk mereka yang pergi, tapi untuk saya, kita yang bertahan. Kita yang terus menjalani hari, satu demi satu langkah memulai sesuatu, menghabiskan yang tadinya detik, menjadi menit, lalu ke jam.. Begitu terus. 

 

Baru-baru ini saya merapihkan rumah dan mendapati diri saya berada di tumpukan boks berisi foto, buku, dan dokumen almarhum mama. Saya buka satu persatu, saya lap debunya sambil mengagumi apa yang dilakukannya. Perasaan ini hangat, hati ini penuh. Tahun ini sudah masuk 15 tahun meninggalnya mama, angka yang sama di usia saat mama meninggal. Saya sibuk menjalani hidup, tapi ingin sekali berhenti di peringatan tahun ke 15 ini untuk berdiam lebih lama. Kenapa? Just wondering, separuh hidupku dengan kehadiran mama dan separuhnya lagi hidup dengan berpegangan memori tentangnya. 

 

Tanggal 1 maret 2021 itu saya lalui dengan berdoa dan mencoba berkomunikasi dengan diri sendiri dan (seolah-olah) dengan mama. Semuanya berjalan lancar sampai ada satu perasaan yang ingin dikeluarkan tapi saya ngga tau apa. Saat itu saya cuma pingin nangis sambil babbling apa aja yang ada di hati. Sampai akhirnya ke luar satu perasaan inti, yang menurut saya paling masuk akal untuk menjelaskan sikap saya beberapa tahun ini. 

 

“Aku takut lupa memori tentang mama…”

 

As I grow older, I made a lot of memories. Hari itu saya takut, setakut itu untuk kehilangan memori tentang mama. Karena kamu tau kan cara kerja memori. Kamu pilih yang paling berkesan dan menarik, lalu kamu putar itu terus menerus-menerus sampai memenuhi dahagamu. Terus apa yang terjadi kalo kamu memilih memori yang sama selama 15 tahun? Kamu mendambakan memori yang baru karena yang lama menjadi usang. Saya, menjadi seorang manusia biasa, yang ingin memiliki sesuatu yang lebih.

 

Kembali pada siang itu dengan tumpukan boks berdebu berisikan album foto mama. Saya kaya lagi dikasih update software. Menghubungkan puzzle lama dan mencoba memahami setiap tindakannya. Mencoba menerka, apa yang ada di pikirannya? Siapa yang influence kamu saat itu, ma? Begitu banyak pertanyaan dengan minim jawaban. Masih sibuk membuka foto dan folder milik mama, sampai pada akhirnya saya menemukan satu titik pemahaman lagi. Pada akhirnya semua orang yang hidup, akan berubah menjadi memori, dan diabadikan dalam setumpuk dokumen. Eksistensi orang itu, pada akhirnya menjadi sebuah dokumen. Entah berupa foto, nilai rapot, ijazah, piagam, sertifikat. Kertas-kertas itu yang menceritakan secara singkat perjalanan hidup seseorang dari akta kelahiran sampai berakhir di sertifikat kematian. 

 

Saya akhirnya memahami, ada sebagian orang yang pada akhirnya menyimpan setumpuk dokumen dan barang (yang mungkin menurut kita buat apa sih disimpan?) sampai akhirnya termakan waktu dan terlupakan. Karena bend aitu menyimpan banyak sekali memori, yang mungkin di waktu yang tepat saat kamu buka kembali, bisa menyelamatkanmu. Masa kejayaan itu, masa di mana kamu hidup hanya untuk momen itu, masa di mana yang membuat kamu bisa bertahan sampai sejauh ini. Entah itu sebuah foto, buku catatan pelajaran, sepatu yang sudah usang, setiap kamu pegang lagi bendanya, seperti dalam mesin penjelajah waktu. Kamu ingat betul kapan mendapatkannya, apa yang terjadi, sehingga menjadikanmu menjadi seorang yang seperti apa. 

 

Menutup blog kali ini, saya kutip dari film favorit saya Reply 1994. Untuk aku yang berhasil bertahan 15 tahun dengan memori mama. 

 

“I thought it would hurt less as time passes by. But the older I get, the more I miss her”

 

dari aku, yang rindu sekali sama mama :)