Jumat, 03 September 2021

Ke Mana Perginya Mereka yang Sudah Meninggal?

Saya tau, mereka berada di akhirat sedang menunggu datangnya hari kiamat, menunggu waktu perhitungan tiba. Itu yang saya pelajari sejak sekolah dasar, sampai saat ini diyakini, sambil menunggu waktunya tiba. Pertanyaan di atas itu bukan ditujukan untuk mereka yang pergi, tapi untuk saya, kita yang bertahan. Kita yang terus menjalani hari, satu demi satu langkah memulai sesuatu, menghabiskan yang tadinya detik, menjadi menit, lalu ke jam.. Begitu terus. 

 

Baru-baru ini saya merapihkan rumah dan mendapati diri saya berada di tumpukan boks berisi foto, buku, dan dokumen almarhum mama. Saya buka satu persatu, saya lap debunya sambil mengagumi apa yang dilakukannya. Perasaan ini hangat, hati ini penuh. Tahun ini sudah masuk 15 tahun meninggalnya mama, angka yang sama di usia saat mama meninggal. Saya sibuk menjalani hidup, tapi ingin sekali berhenti di peringatan tahun ke 15 ini untuk berdiam lebih lama. Kenapa? Just wondering, separuh hidupku dengan kehadiran mama dan separuhnya lagi hidup dengan berpegangan memori tentangnya. 

 

Tanggal 1 maret 2021 itu saya lalui dengan berdoa dan mencoba berkomunikasi dengan diri sendiri dan (seolah-olah) dengan mama. Semuanya berjalan lancar sampai ada satu perasaan yang ingin dikeluarkan tapi saya ngga tau apa. Saat itu saya cuma pingin nangis sambil babbling apa aja yang ada di hati. Sampai akhirnya ke luar satu perasaan inti, yang menurut saya paling masuk akal untuk menjelaskan sikap saya beberapa tahun ini. 

 

“Aku takut lupa memori tentang mama…”

 

As I grow older, I made a lot of memories. Hari itu saya takut, setakut itu untuk kehilangan memori tentang mama. Karena kamu tau kan cara kerja memori. Kamu pilih yang paling berkesan dan menarik, lalu kamu putar itu terus menerus-menerus sampai memenuhi dahagamu. Terus apa yang terjadi kalo kamu memilih memori yang sama selama 15 tahun? Kamu mendambakan memori yang baru karena yang lama menjadi usang. Saya, menjadi seorang manusia biasa, yang ingin memiliki sesuatu yang lebih.

 

Kembali pada siang itu dengan tumpukan boks berdebu berisikan album foto mama. Saya kaya lagi dikasih update software. Menghubungkan puzzle lama dan mencoba memahami setiap tindakannya. Mencoba menerka, apa yang ada di pikirannya? Siapa yang influence kamu saat itu, ma? Begitu banyak pertanyaan dengan minim jawaban. Masih sibuk membuka foto dan folder milik mama, sampai pada akhirnya saya menemukan satu titik pemahaman lagi. Pada akhirnya semua orang yang hidup, akan berubah menjadi memori, dan diabadikan dalam setumpuk dokumen. Eksistensi orang itu, pada akhirnya menjadi sebuah dokumen. Entah berupa foto, nilai rapot, ijazah, piagam, sertifikat. Kertas-kertas itu yang menceritakan secara singkat perjalanan hidup seseorang dari akta kelahiran sampai berakhir di sertifikat kematian. 

 

Saya akhirnya memahami, ada sebagian orang yang pada akhirnya menyimpan setumpuk dokumen dan barang (yang mungkin menurut kita buat apa sih disimpan?) sampai akhirnya termakan waktu dan terlupakan. Karena bend aitu menyimpan banyak sekali memori, yang mungkin di waktu yang tepat saat kamu buka kembali, bisa menyelamatkanmu. Masa kejayaan itu, masa di mana kamu hidup hanya untuk momen itu, masa di mana yang membuat kamu bisa bertahan sampai sejauh ini. Entah itu sebuah foto, buku catatan pelajaran, sepatu yang sudah usang, setiap kamu pegang lagi bendanya, seperti dalam mesin penjelajah waktu. Kamu ingat betul kapan mendapatkannya, apa yang terjadi, sehingga menjadikanmu menjadi seorang yang seperti apa. 

 

Menutup blog kali ini, saya kutip dari film favorit saya Reply 1994. Untuk aku yang berhasil bertahan 15 tahun dengan memori mama. 

 

“I thought it would hurt less as time passes by. But the older I get, the more I miss her”

 

dari aku, yang rindu sekali sama mama :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar