Sabtu, 11 Oktober 2014

Ring-ring!



"Sometimes fate is like a small sandstorm that keeps changing directions. You change direction but the sandstorm chases you. You turn again, but the storm adjusts. Over and over you play this out, like some ominous dance with death just before dawn. Why? Because this storm isn't something that blew in from far away, something that has nothing to do with you. This storm is you. Something inside of you. So all you can do is give in to it, step right inside the storm, closing your eyes and plugging up your ears so the sand doesn't get in, and walk through it, step by step. There's no sun there, no moon, no direction, no sense of time. Just fine white sand swirling up into the sky like pulverized bones. That's the kind of sandstorm you need to imagine."

Haruki Murakami - Kafka On The Shore

Rabu, 08 Oktober 2014

Tightrope





Pekerjaan ini ternyata meminta effort luar biasa besar dari yang gue kira. Tidak, Hayati bukan sedang lelah, bang. Justru bersemangat! 

Ngasih sedikit gambaran dulu, boleh ya? Well, our primary duty is to ensure the flight is safe, secure, and give the best servive to passengers. Semua bekal pun juga sudah disiapin dari training dan terus belajar sampai kita di dalam kabin. Tempat yang berbeda, penumpang yang beragam, juga tim yang selalu berubah di setiap perjalanannya, membuat kita diminta untuk fleksibel. Karena rutinitas yang berganti terus menerus, saya pernah ada di satu titik di mana mati rasa dengan perasaan perubahan itu sendiri. Memang, pattern kerja akan selalu sama. Cuma apa yang dihadapi selalu berubah. Sehingga yang namanya hal baru menjadi... Sebuah zona nyaman. Bisa dibayangin ga? Yang harusnya itu ngebuat kamu deg-degan, penasaran, dan semangat, malah jadi biasa.

Ya, saya kehilangan rasa bersenang-senang di sini. Dan itu ga enak :( Sampai akhirnya bangun di suatu pagi untuk siap-siap tapi ngeluh cape sisa kerja kemarin, and I choose to stop and asking to my self instead: "Bukannya ini yang kamu mau?" 

Ternyata saya sedang menjadi manusia normal lainnya. Kaga puas-puas. Dimulai hari itu (dan beberapa hari kemudian yang masih ga rela lepas dari kasur) saya memilih cara yang berbeda. Dari pemikiran main aman dan mendambakan penerbangan yang sempurna (yang justru berakhir dengan tekanan batin sendiri), diganti menjadi whatever will be, will be! Dengan tambahan ngasih apapun yang saya punya, berkomitmen, dan have fun (tapi anggun)! 

Some of you might think why should I take this job seriously, while the others like: "Yaelah mbak, rajin amat." Karena... Pekerjaan ini begitu digelimpangi kemudahan dan nikmat. Jadi akan jauuuh lebih mudah untuk ngeluh karena mobil jemputan telat atau dapet parkir pesawat di Remote Area (yang dimana justru seruuu, bisa liat banyak pecawaat), dibandingin take everything seriously and learn from it instead. Kita bisa milih kok antara liat sesuatu sebagai problem atau challenge. Kalau suatu hari pun kita ketemu di kabin, mungkin saya nyaru sama mbak-mbak yang lain. Tapi yang ngebuat saya beda, I learn something from this flight. I learn something from you. Bukan tentang taktik aja, tapi juga secara emosional. 

Have a great day! 

Selasa, 09 September 2014

Silent Sigh

Bahwa sesungguhnya, gue lelah untuk denger Indonesia dibandingin sama negara lain.

Ya dari wisata lah, transportasi, pemerintah, masyarakat, sampe kotak sampah aja sampe dibandingin. Setelah apa yang udah dijalanin pun, kata "Indonesia itu kaya banget..." Hampir ga bernyawa kalau dilafalin. Karena memang sebenernya, cara terbaik untuk menikmati yang di depan mata, adalah dengan tidak membandingkan dengan apa pun.

Kamu hanya perlu diam, menikmati apa yang di depan mata, lalu rekam baik-baik setiap detiknya.

Timika, 2014

Ternate, 2014

Banjarmasin, 2014

Biak, 2014

Ngutip dari The Secret Life of Walter Mitty, boleh ya?

"Beautiful things don't ask for attention."




Good night! 







Rabu, 18 Juni 2014

Krik... Krik...

Setiap hari penuh dengan kejutan.


P: Ade tinggal di mana?

B: Jakarta, pak. Bapak asli sini?

P: Abang asli Jayapura. Ke sini (Merauke) hanya untuk urusan saja.

B: Wah sibuk ya, pak...

P: Jangan panggil bapak. Abang saja biar akrab.

B: ... Baik, bang. 

P: Ade ada pin bb?

B: ... Nggak punya bb saya.

P: Kalau nomor hp ade, boleh abang minta? 

B: Hapenya nomernya baru, belum inget....

P: Yah. Ngomong-ngomong, abang sedang single.

B: Oh begitu...

P: Tapi sekarang abang lagi nyari calon istri.

B: Wah...

P: Jadi, gimana cara abang ngehubungin ade? 


PAPAAAAAAAAAAAAH

Selasa, 10 Juni 2014

Lean In


Gak bakalan gue lupa hari itu. Belum juga ada sebulan kerja di majalah franchise internasional satu ini dan gue udah mikir buat nyerah.

Gimana enggak?

Ritme kerja yang gila banget, tiap hari gue 'dipaksa' buat ngeluarin ide, ngejar sana-sini yang nggak ada abisnya, nggak dikasih waktu sedikit pun buat napas! Di kantor udah kebingungan sendiri, cape di jalan juga ngejar kendaraan umum, nyampe rumah pun pas tidur mimpinya tentang kerjaan. Gue hampir nyerah. 

Beberapa bulan itu kondisi di mana gue harus ke luar sejauh-jauhnya dari zona nyaman gue. Deg-degan di setiap harinya. Buat kesalahan juga ga sekali-dua kali. Gak berenti di situ, gue dipacu buat lebih 'liar' lagi buat nyari ide. Bener-bener gak enak. Sangat gak enak. Dan gue tiba-tiba ngerasa... Nggak pantes ada di sini. Gue sampe di tempat di mana.... Yaudahlah, jalanin aja. Pasrah. Seterah deh itu hasilnya gimana, udah hampir tewas ngerjainnya.

Lalu tiba-tiba gue, Keken, Kanta, disuruh translate satu artikel tentang suplemen career. Seperti biasa, gue fokus aja buat ngerjain apa yang di depan. Sampe begitu gue sadar... Ternyata baca artikel ini kaya lagi... Ditampar. 

Judulnya Lean In, wawancara eksklusif Sheryl Sandberg, wanita pertama yang ada di jejeran petinggi Facebook. Di artikel itu, dia ngejawab semua kekhawatiran, ketakutan, dan cukup ngegambarin tentang keadaan sekarang. Di sini, dia justru nantangin apa yang selama ini kita pikir kita percaya. Di sini, kita diajak untuk mempertanyakan kembali ketakutan kita. 
What would I do if I weren't afraid? 

Banyak. Ternyata banyak banget hal yang bisa dilakuin! Dan entah kenapa, gue justru kangen lagi waktu di mana terus dipacu buat terus eksplor diri. Di mana harus deg-degan, was-was, geregetan, sampe gabisa tidur. Kangen, buat tau seberapa jauh gue bisa pergi...

(Artikel aslinya, bisa di klik di sini http://www.cosmopolitan.com/advice/work-money/sheryl-sandberg-lean-in-book-excerpt )

Selasa, 20 Mei 2014

Downloading...

... the new version of Bani.

Kaga lah. Canda.


Jadi gimana, kehidupan beberapa minggu ini? Alhamdulillah baiik. Cuma... Apa ya? Mungkin sekarang lagi masa adaptasi sama dunia baru, lingkungan baru, kerjaan baru. Cara pandang sama kebiasaan pun berubah drastis. Iya, se-eks-trim itu. Mulai dari pagi jadi malem - malem jadi siang. Ritme kerja yang kadang bikin bengong sendiri sangking cepetnya. Gejolak sama warna orang yang bedaaaa- beda banget di setiap waktunya.

Di satu sisi, ini yang saya mau, namun di sisi lain saya juga ngeliat tantangan baru. Nggak nyangka bakal se adu silat gini juga sih.

Beberapa waktu lalu kangen banget nulis sebenernya, kangen banget. Tempat dan waktu di mana semua tulisan ngalir apaadanya, tanpa harus mikirin ini bener atau salah. Tapi mungkin karena tahap adaptasi di kerjaan, sahabat satu per satu udah mulai hengkang luar kota buat ngejar cita-cita mereka, ada juga yang mulai masuk ke tahap hidup mereka dengan komitmen untuk menikah, semuanya ada dalam satu waktu yang sama. Mendadak mellow dan mendadak mempertanyakan semuanya.

Jadi gini ya, rasanya jadi dewasa. Bukan dewasa ding, tumbuh menjadi orang dewasa. Mulai ke luar dari zona nyaman kita, ngejar apa yang kita mau, lalu mempertahankannya. Sebenernya tau, tau itu yang pasti dilakuin sama setiap orang saat selesai dari masa studi mereka. Cuma... Nggak nyangka aja bakalan secepet ini. Masing-masing punya jalan yang dipinginin, jadi takut lupa untuk menjaga apa yang udah dibangun pas kita masih, katakanlah, muda dulu. Seperti... sahabat dan keluarga, mungkin? Atau hobi? Mereka yang tau dan ada di setiap proses perjalanan, jadi ada batas buat ngeraih mereka.

Bentar, did I say "muda"?
Demi Tuhaaaaaan, umur situ juga masih bawang kali sist.

Lalu... Di sinilah saya sekarang, nyoba buat nyeimbangin keduanya. Antara work life dan social life. Agak rentan masuk angin sih badannya, but I'll find my own way. Ada juga buat nyeimbangin antara persepsi orang-orang tentang satu hal, yang kayanya udah jadi pengetahuan umum untuk yang bersangkutan, dengan sudut pandang sendiri. Bisa diliat dari dua sisi sih, jadi informasi atau justru jadi asumsi. Tapi sedih nggak sih kalau kita kenal orang secara menyeluruh karena persepsi orang lain, instead of ngeliat sendiri warna mereka? Jadi ilang satu hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Memanusiakan manusia.

Anyway, have a great day!

Jumat, 09 Mei 2014

Thank You For Coming

Hari ini, aku dikunjungi mama. 

Sepertinya beliau tau, hari ini hari pertama aku menerima gaji. Jadi kami melihat layar mesin itu sebentar, mengucap syukur, lalu dia berkata sambil tersenyum:

"Zakat."

God, I miss you, ma : )

Kamis, 06 Maret 2014

Kalau Hati Udah Bilang Iya, Kamu Bisa Apa?


Cita-cita ini sebenernya nggak langsung kecetak pas di hari pertama gue lahir. Hidup di keluarga yang isinya di dunia penerbangan pun nggak ngebuat gue untuk jatuh cinta seketika dan netepin buat ada dalam bagian ini. Semuanya ada proses. Proses dari perasaan asing ngeliat papa dan mama sering pergi dengan kopernya. Perasaan sedih karena mama nggak ada di hari pentas gue nyanyi. Perasaan seneng karena setiap papa pulang selalu bawa coklat. Sampe perasaan capek campur pegel karena harus duduk tegak di jumpsuit cockpit dari awal penerbangan sampe akhir sekitar 2 jam lebih (yang kalo diliat lagi sekarang, betapa beruntungnya Bani Kecil bisa nongkrong selama perjalanan bareng pilot). Gue juga sering dilanda kebingungan setiap ditanya temen-temen tentang profesi papa, yang dibales dengan binar mata penuh kekaguman, sementara gue cuma bisa bilang: He eh. 

Jadi itu, itu yang harus dibayar oleh papa sama mama saat memilih berkeluarga sekaligus menjalankan profesinya. Dan itu juga yang menjadi alasan kenapa mama ngedidik anaknya untuk mandiri, countable, dan nanemin rasa kepercayaan dari diri kami. Terus, apa gue jatuh cinta di profesi ini saat udah ada gambaran dari keseharian mereka? Tentu aja enggak : ) Mama emang memilih untuk keluar dari dunia Pramugari begitu mengandung Mas Bala. Tapi makin ke sini, beliau juga beberapa kali ikut untuk Pramugari Haji. Pengalaman dan perasaan di situ, masih kuat dan ninggalin memori untuk ngegambarin sedikit tentang sudut pandang anak tentang orang tua yang memiliki profesi ini. 

Balik lagi tentang cita-cita. Pas kecil, I'm dying to be an Architect. Kereeen gitu ngeliatnya: meja putih yang gedeee sama penggaris yang ditempel di atasnya, bikin maket, sama tabung buat gulung-gulung kertasnya bikin semua mata tertuju sama benda itu. Terus pas nyadar gambar gue dari gunung-sawah-rumah jadi gunung-sawah-rumah-matahari perkembangannya sangat lamban, belom lagi tiap kali bikin garis hasilnya selalu miring, maka dengan senang hati mengikhlaskannya. Terus sempet juga nih beralih ke Fashion Designer. Tapi tiap gambar baju jadinya malah balon, pemilihan kaos sama celana yang kadang (boong - kebanyakan) malah tabrak motif sama warna. Maka dengan senang hati lagi, gue mengikhlaskan cita-cita itu. Dan gue pernah ditanya, nggak mau jadi Pramugari? Gue yang pas itu masih SMP pun ngejawab, nggak mau karena pekerjaannya pasti capek. Mama juga sempet ditanya ada keinginan anaknya jadi Pramugari atau nggak, dia juga jawab sama. Dia pingin anaknya punya pekerjaan yang bisa lebih baik dari dia. 

Jadi kenapa tiba-tiba ke sini? Awalnya karena travelling. Papa nanemin rasa menikmati sebuah perjalanan dari kami kecil. Beliau juga nunggu waktu yang cukup untuk kami aware bahwa tempat yang dikunjungi itu berbeda dari keseharian kami. Supaya pas udah gede nanti, katanya, kami inget pas kecil pernah ke sini. Kan sayaang, misalnya jauh-jauh ke Hong Kong pas umur lima taun, eh lupa pas udah gedenya. Ingetnya fotonya aja... Gitu sih alesannya. Papa juga numbuhin rasa untuk menjadi orang lokal. Diajak muter, interaksi, ngelakuin aktivitas, makan, di tempat yang banyak orang lokal lakuin. Di situ, muncul keinginan buat sering-sering travelling. Salah satunya adalah dengan jadi Pramugari.

Percobaan pertama gue untuk masuk ke sini adalah pas kuliah. Dan sukses ditolak di awal tahap. Ya gimana enggak, belom ada persiapan, jerawat juga lagi lucu-lucunya, nggak pake make-up. Sedih? Masih belom. Shock therapy aja palingan, namanya juga pertama nyoba. Lanjut lah kuliah, sampe lulus sidang tiba. Gue nyoba lagi dengan make-up cukup dan rasa percaya diri karena udah megang gelar pendidikan. Ternyata masih ditolak juga, dengan alasan yang masih misteri. Saat itu sebenernya ada piliha untuk sakit hati, ngelupain hal ini, dan move on ke pekerjaan lain. Mau travelling kerjaannya bukan di sini aja, bukan? But I choose the other option. Gue datengin itu yang namanya dokter kecantikan buat ngebasmi jerawat puber ini, daftar ke tempat les bahasa inggris yang ruang kelasnya kaya akuarium, sampe masuk ke sekolah kepribadian yang namanya sering ditulis di novel-novel. Harapannya cuma satu, biar bisa lolos dan makin sering travelling. Dan berbekal itu juga, daftar lah gue untuk ketiga kalinya. Semuanya lancaaar banget dari awal sampe tahap terakhir ini, sampe akhirnya Allah ngasih jawaban lain. Gue ditolak.

Pas nerima berita itu, I was really mad. I cried, I screamed (ditutup pake bantal tapiya), dan mempertanyakan kenapa hasilnya kaya gini sambil nyebut nama-Nya. Bener, gue udah gila-gilaan di sini. Poles sana-poles sini, sementara selama proses, ada banyak temen yang daftar karena iseng-iseng aja. Di tahap pemahaman itu, gue mikir ini nggak adil. I even hugged my dad and said these words: "Pa... Ade gagal. Ade udah gila-gilaan kaya gini, tapi ade tetep gagal pa..." sambil nangis. Kaya di sinetron-sinetron gitu deh. Percis. Tapi kalo mau diliat lagi, ternyata ada beberapa hal yang bikin diri gue ngebiarin gagal. Pertama, di atas awang-awang. Hanya karena gue udah ngelakuin lebih banyak usaha dari yang lain, bukan berarti gue punya hak untuk nilai mereka di bawah.  Gue mengkalkulasikan berbagai macam program yang udah dijalanin dengan mereka yang iseng-iseng aja atau nggak ngelakuin apa-apa. Iya, sombong sekali, ya? Makannya jatoh. Di situlah gue ngerasa doooown banget, nggak ada tenaga buat ketemu orang, apalagi ngobrol. Setiap pembicaraan pun juga mereka sepakat bahwa kaget denger berita ditolak ini dan sebelumnya yakin kalo bakal keterima. Nah kalo hasilnya begini, aku kudu piye?

Kedua, yang sebenernya terjadi adalah gue belom siap. Pas interview sama direksi, gue nervous. Masih ada bayangan bahwa dia itu siapa, dia yang akan menjadi atasan, dia yang menjadi penentu masa depan, dia adalah orang hebat. Gimana bisa gue bisa ngobrol natural sama penumpang kalo gue masih ada beban dengan jabatan dia? Yang ada malah fokusnya tentang common information, bukan kebutuhan dia. Terus yang terakhir, karena Allah nyiapin rencana yang lebiiih baik, rencana yang ngejawab masalah gue yang kedua tadi. Tapi kan ya namanya juga manusia, dan uniknya tentang manusia itu... kita hidup di saat ini. Kita nggak dikasih kemampuan (atau kebanyakan dari kita) untuk ngeliat masa depan, so we can learn from it. Kita jadi tau gimana rasanya, gimana cara ngadepinnya, dan gimana cara nyeleseiinnya. Jadi pas masalahnya selesai, kita bisa bilang: Oh.. gitu toh! Maka dari itu, beberapa bulan setelahnya gue pun nyoba lagi. Baru juga beberapa tahap, eh gagal lagi. Mulai di momen itu, gue tau ini udah nggak bagus lagi. Why? Karena gue daftar karena muasin rasa penasaran aja. Even worse, ini obsesi. Obsession will lead you nowhere. Obsesi itu bikin nutupin diri sendiri yang asli, yang bikin kita buta sama apa yang dimau.

Pada bulan Februari tahun lalu, gue mutusin untuk berhenti dan pindah ke jalur lain, yang sebelumnya sama sekali nggak kepikiran dalam pikiran: jadi reporter majalah lifestyle. Tambahan bonus: majalah ini tingkat internasional yang keberadaannya sangat diakui. Di sini, gue dipacu untuk ngeluarin kemampuan yang sebelomnya nggak pernah disadarin. Mulai dari nulis, ngomong sama orang yang well-known, berteman baik sama sesuatu yang nggak pasti (jadwal artis, peminjaman baju, pemotretan yang mendadak dibatalin), multi tasking, and did I say pekerjaan ini ngebuat gue bisa bolak-balik masuk toko sambil bawa tas belanja yang isinya baju Zara, Massimo Dutti, Banana Republic, Ted Baker, sampe Burberry? Di sini diajarin gimana cara megang kepercayaan dan menjaganya. Tapi ternyata, di sela-sela itu gue masih nyempetin untuk buka satu website yang isinya pendaftaran untuk Pramugari. Ternyata, hati gue udah bilang "Iya" di sini. Terus, gue bisa apa?

Prosesnya makan waktu sampe hampir tiga bulan. Dalam proses ini, ada banyaaak banget orang yang gue repotin, waktu yang udah dihabisin, sampe alesan yang gue keluarin, demi bisa dapet dua-duanya: proses interview dan pekerjaan tetep lancar. Selesai meeting kebut-kebutan naik ojek dari Menteng ke Kosambi, terus ganti baju dulu juga, bedakan, semua dalam satu jam. Pas lagi jam makan siang juga. Dari bandara abis interview terus dapet kabar kalo bos nanyain, yang bikin nyetir jadi kesetanan, yang ternyata pas nyampe ternyata bos minta rambutnya dikepangin. Pernah juga harus lembur buat nyelesein satu artikel sampe jam 10 malem, yang pas udah ditengah perjalanan ternyata baru inget kalo make-up ketinggalan, padahal besok pagi jam 8 udah interview akhir. Yaudah, puter balik lagi ke kantor dan mengutuk kecerobohan gue. Anehnya, di setiap proses ini yang harusnya bikin capek, malah bikin gue... semangat. Kalo pun hasilnya ternyata enggak, di sini gue mainnya udah gila-gilaan banget seenggaknya. Ini yang terbaik dari gue. It was the best time that I ever had. Karena jadi tau, when I want something, I'll go that far. Dan yang paling bikin tetep bertahan adalah, di sini ada banyaaak banget orang yang ngedukung bahkan direpotin di tiap tahapannya. Begitu hasilnya diumumin dan ternyata keterima, rasanya tuh kaya... menang bareng-bareng : ) 

Di proses yang kedua, gue ngerasa semakin dewasa di sini. Iya, abis naik ojek nerjang macet ke sini, tapi juga tau peserta yang lain mungkin ada yang lebih parah dari gue. Mereka juga ngorbanin banyak hal untuk bisa sampe di sini, bahkan untuk tahap-tahap berikutnya. Dan sekarang, gue gak bilang goalnya selesai sampe di sini, untuk sekedar masuk aja dan jalanin apa adanya. Nope. Di tahap pemahaman yang sekarang, gue menetapkan untuk memulai karier di sini, menjadi seorang Pramugari dengan jenjang karier yang sedang gue rancang untuk ke depannya. Ngasih terbaik yang dipunya, fokus, dan have fun sama apa yang dijalanin! Walau pun dulu mama pingin anaknya punya profesi yang lebih baik dari dia, how about this: Insyaallah, gue akan menjadi Pramugari yang lebih baik dari mama. Menjadi seorang istri yang lebih baik dari mama. Juga menjadi seorang ibu yang lebih baik dari mama. Amiiin. 

Jadi, kenapa gue mau jadi Pramugari? Karena gue menyukai pekerjaan dengan mobilitas tinggi. Membiarkan gue duduk seharian dari jam 9-5 di kantor akan menyebabkan gangguan mental pekerja lainnya, ketidak stabilan emosi, dan gengges. Selain itu, gue menyukai hal-hal yang terstruktur. Abis ini, ini, terus itu, abis itu, ini. Jelas. Bonusnya? Bisa ketemu banyak orang baru di setiap harinya, ngobrol dan nyapa penumpang, bahkan travelling! 

But let me tell you something, selama prosesnya juga ada orang-orang yang kurang mendukung. Dari persepsi tentang profesi ini, gimana selama proses keliatan kaya beauty pageant (dituntut mulus, tinggi, kurus), sampe ada yang nganggep nggak akan masuk karena kebiasa hidup enak. Belum lagi percaya diri sama keyakinan buat ngelanjutin lagi masih antara iya sama enggak, yang bikin kita balik ragu- lanjutin nggak nih? Kalo boleh saran, tanya lagi kata hatinya gimana. Karena dia pasti bakal nemuin lo lagi dan terus ada di pikiran. If it's still in your mind, then it is worth taking the risk. Orang mau ngomong apa juga, yang tau kan diri sendiri. Ya, kan? Terus, tetep percaya juga, semua hal yang kejadian di sekitar pasti ada alesannya. Pasti. Cuma masalah waktu aja buat taunya kapan. Sementara itu, stay positive. 

Jadi... Kalo hati udah bilang iya, kamu bisa apa? Jalanin aja, pasti ada caranya. Apa pun goal dan tujuan yang lagi dicapai, for God sake, lakuin dengan totalitas. I wish you tons of luck, see you on board, and may have a pleasant flight with us! ;p

Bismillahirrahmanirrahiim! : D


Meet my brother, Umbaya!

Ada satu bapak deketin kita dan bilang: "Mbak, adenya mau foto sama mbak pramugari. Boleh?". Kyaaaaa~


Senin, 17 Februari 2014

Morning Soundtrack


Iya, mungkin itu kata yang paling tepat. Abisan gini ya, sering banget setiap bangun tidur, jangan deh jangan bangun tidur. Pas badan udah mulai sadar dari mimpi ke bangun, di otak sering banget mainin satu lagu yang keputer terus. Kalo lagunya yang emang disuka sih wajar ya, tapi kalo tiba-tiba Fatin sama Dangdut kan bingung juga ya. Suka, enggaaaak, kepikiran terus, iya.

Lagunya yang minta diputer itu dari Sioen - Cruisin, Tori Amos - Sleep With Butterflies, sampe yang Top 40 juga ada kok: Lorde - Royals.

Anyone, mungkin juga ada yang ngerasa kaya gini juga? : l

Rabu, 12 Februari 2014

Blink!


Beberapa minggu ini lagi ngerasain hal yang berbeda. Sebenernya semuanya baik-baik aja. Pelajaran di kelas oke, ngobrol sama temen-temen juga nyambung, rutinitas sehari-hari pun dilakuin gak ada yang aneh-aneh atau gimana. But there's something missing. Perasaan untuk stay, aware atau hidup di momen itu nggak ada sama sekali. Ngawang. So I have a lot of assumption about how and why I get here. Kalo dibiarin terus, bisa-bisa nggak bakalan selesai dan kejadian kaya gini bakalan mungkin banget buat keulang lagi. 

Karena saat ini tempo yang dimainkan harus cepat, tapi jiwanya justru entah ke mana. 

Lalu dimulai lah pencarian penyebab kenapa bisa begini:

Kondisi badan yang terlalu capek? Nggak juga ah. Udah tidur 8 jam, bangun-bangun masih aja males bangun. Even worse, kelabakan nahan ngantuk di dalem kelas yang instrukturnya adep-adepan muka. 

Lagi kumat malesnya, terus ngeliat bahan pelajaran yang kaya semen tiga roda: pekat, jadi nggak ada tenaga dan pingin tebalikin meja aja? Bi.....sa sih. Tapi kurang kuat alesannya..

Apa lagi ngerasa monoton dan pingin sesuatu yang beda? 

Atau lagi focus in dan nyepelein kata "mendengarkan"? 

Atau justru, terlalu banyak mendengarkan dan manutin semua yang didapet tanpa nanyain apa yang dimau?

Atau mungkin... You're thinking too much?

Dan gue pun memilih opsi terakhir sebagai jawabannya. Mungkin terlalu banyak mikir dan analisa, jadi bikin terlalu fokus sama diri sendiri.

Sampai akhirnya tadi pagi, seperti biasa: Alarm nyala di kedua handphone, yang harusnya bangun jam 04.45 terus di snooze aja terus dua-duanya sampe jam 05.30. Yang nggak biasa, bangun kali ini gue menyadari kalo ternyata setiap pagi gue memutuskan untuk ke luar dari tempat tidur, dengan perasaan grungies - penuh dengan unek-unek. Ngeluh masih ngantuk lah, airnya dingin lah, make-up nggak bisa cepet lah. Dan pagi ini, gue memilih sesuatu yang berbeda. I switched the emotion, and I choose to berdoa setelah bangun tidur. 


اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى أَحْيَانَا بَعْدَمَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
alhamdulillahil ladzi ahyana ba’da ma amatana wailaihin nusyur

"Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali setelah mematikan aku dan kepada Allah akan bangkit."

Lalu tau apa yang berbeda dengan memilih untuk mengganti kebiasaan pagi ini? Di kelas jadi seger walau pun tidur baru jam satu pagi, pelajaran juga alhamdulillah lebih cepet masuk, mood seharian juga enaaak banget. Jadi, in case kejadian kaya gini bakal keulang lagi, pertanyaannya mungkin bisa ditambah satu: Mungkin kamu kurang bersyukur, Ban. 


Rabu, 05 Februari 2014

Call-Ear-Deer-Rush


Ngaku asik, sabar, dan bisa nerima segala macem jokes? Try this: jawab pertanyaan "Mbak emang rumahnya di daerah mana?" Dengan kalimat, "Di Kalideres, mas."

Then, you will get these options of respond.

A. Full Stop

X: Mbak rumahnya di daerah mana?
Y: Kalideres, mas.
X: Di mananya?
Y: Cengkareng, mas.
X: Di deket mananya, ya?
Y: Itu loh mas, deket Bandara Soekarno Hatta. Lima belas menit aja dari rumah, gak perlu lama-lama...
X: *ngangguk pelan* *terjadi keheningan panjang* *pembicaraan selesai*.

(Percakapan ini biasanya kejadian kalo lagi di perjalanan transportasi umum. Ya kalo nggak naik taksi ya ojek. Either abangnya baru nyadar kalo daerah rumah penumpangnya percampuran antara macet+motor pada busuk+banjir kaga kira-kira+lawannya truk gandeng semua+jakmania bertebaran+kopaja nauzubilah+asep knapot kek apaan tau, ada di mana-mana atau emang dia... Lagi nyimpen tenaga ama hati aja buat perjalanan ke Kalideres. Mangat ye bang.) 

B. "Senyumnya manaa..."

X: Mbak rumahnya di daerah mana?
Y: Kalideres, mas.
X: Rumahnya pasti sering banjir yaa...
Y: Kadang sih begitu. Kok tau? (Suasana hati: bangga. Alasan: akhirnya ada yang tau daerah rumah gueeeee!)
X: Kan, Kalinya Deres. Ahahahahahahahahahaha 
Y: .... A....ha... Ha... Ha. </3

(You'll get used to it. Pertama kali denger juga ikutan ketawa. Sekali... Dua kali... Kalo diulang lima puluh kali kan sedih juga ya dengernya. Tapi tetaplah tersenyum. Senyum.)

C. Unclassified 

X: Mbak rumahnya di daerah mana?
Y: Kalideres, mas.
X: Itu di Jakarta?

(Kalo ada yang nanya begini, udah, tinggalin aja. Beneran.)

D. Tetangga Baru

X: Mbak rumahnya di daerah mana?
Y: Kalideres, mas.
X: Wah, kita tetangga dong! *ngeluarin dompet* *buka KTP* *nunjukkin nama Kelurahan doi: KALIMATI*

(Sama, awalnya juga nggak ngerti. Sampe si masnya dengan sabar, ngejelasin: "Iya, abis Kalinya-Deres, terus airnya kering, jadi Kalinya-Mati." Kalo nggak ngerti, gapapa. Ini respon tergaring yang pernah gue dapet. Muka gue juga jadinya malah kaya ヾ(*´∀`*)ノ
Tapi tetaplah tersenyum. Seenggaknya dia usaha ampe buka dompet segala.

Jadi. Good luck with thaaaaat~

Senin, 06 Januari 2014

Pada Suatu Hari


Float - Sementara

Sementara teduhlah hatikuTidak lagi jauhBelum saatnya kau jatuhSementara ingat lagi mimpiJuga janji janjiJangan kau ingkari lagi
Percayalah hati lebih dari iniPernah kita laluiJangan henti disini
Sementara lupakanlah rinduSadarlah hatiku hanya ada kau dan akuDan sementara akan kukarang ceritaTentang mimpi jadi nyataUntuk asa kita ber dua
Percayalah hati lebih dari iniPernah kita laluiTakkan lagi kita mesti jauh melangkahNikmatilah laraJangan henti disini


Pada suatu hari nanti, aku dan dia akan berbicara lagi. Kami akan berbicara pada siang itu, dengan matahari yang bersembunyi malu di balik awan, angin pantai yang membuat semua daun pohon kelapa ikut menari, dan hangatnya Bali saat itu membuat aku memilih membuka kaca, membiarkan tirai berayun sesuai iramanya.

Di situ, di kamar itu, kami berbicara apaaa saja yang sebenarnya sudah kami nantikan dari berbulan-bulan lalu lamanya. Dia duduk di sofa itu, dengan ekspresi berapi-api menceritakan kisahnya. Tubuhnya sesekali bergerak dengan spontan, bereaksi dengan kata-kata yang baru saja ia lontarkan dari mulutnya. Sementara aku? Aku lebih memilih untuk memeluk bantal sambil tengkurap di atas kasur, menikmati pemandangan di depan mataku. Ikut tertawa, menimpali, dan tersenyum dengan kehadirannya. 

Indah. Bahagia. Sempurna. 

Suatu hari nanti, pasti akan tercapai. Bersabarlah sebentar, hari itu sedang aku rajut.