Minggu, 17 Mei 2020

Grieving



There's something you need to know about grieving, terutama mereka yang menghadapi kematian. Flash back through 2006, on march 1st to be exact. It was a vivid memory, tapi saya ingat sekali perasaanya di setiap menitnya.

Pukul 3 pagi, telepon rumah berbunyi. Saya tau, berita itu akan datang. Lagipula mana ada berita baik lewat telpon rumah jam 3 pagi sih? Setelah tutup telpon, mba saya coba membangunkan dan entah kenapa saya pingiiin banget denger dia ngomong langsung ke saya apa berita dari papa itu. "Kenapa? Papa ngomong apa? Yaudah ntar aja, masih ngantuk" Sementara dia terus coba bikin saya telpon papa, because I know, dia ngga akan sampai hati untuk sampaikan pesan bahwa mama meninggal.

Lalu telepon rumah kembali berbunyi, kali ini mbak bener-bener memastikan saya bangun untuk angkat telponnya. Papa menyampaikan pesannya, lalu saya kembali ke kamar dan rebahan. Berusaha tidur yang pastinya ngga bakalan bisa. Kemudian semuanya berjalan cepat; saudara tiba di rumah, saya disuruh mandi dan sarapan sambil bengong. Lupa, sempet nangis ga ya. Yang pasti baru pecah begitu ada om tetangga yang telpon (padahal kita ga pernah ngobrol sama sekali) nanyain papa di mana, papasan sama suara mobil jenazah and it really hits me: mama dateng. 

Tadinya saya mau bilang pas liat kondisi mama, berasa kebas. Tapi engga, sempet nangis kok walaupun cuma sebentar. Mungkin bukan kebas, lebih tepatnya saya ngga suka ngeliat mama dengan kondisi pucat dan kaku seperti itu. I want to remember her as an energetic woman, ceria, cantik, penuh kehangatan. So I barely looking at her face on that day. Saya mau selalu mengingat mama dengan versi yang berbeda. Dan di hari itu saat semua orang datang berduka, memberikan pelukan, saya di umur 15 tahun, menyadari bahwa it's just a temporary. Setelah ini selesai, mereka pulang dan menjalani kehidupan mereka seperti biasa. Sementara saya? Begitu mereka pulang, inilah grieving saya yang sebenarnya. Bukan perpisahan atau melihat mama saya yang terakhir kali yang membuat saya, atau orang yang ditinggalkan ini  sedih. Tapi ngejalanin hari-hari, rutinitas, kebiasaan yang selama ini dilakukan dan kenyataannya mereka ngga ada lagi di samping kita, that's the real deal. Jadi saya putuskan pada haru itu, saya ikuti saja alurnya.

Mereka datang, mendoakan mama, menghibur kami, sampai ada waktu saya lupa mereka ke sini buat apa sangking senengnya dihibur sama temen-temen. Tante saya bahkan sampai harus ngingetin untuk jaga suara dan mengingatkan kalau saat ini saya harusnya berduka karena mama meninggal. Jadi ya saya kembali masuk rumah dan menangis lagi.

Acara pemakaman selesai, hanya beberapa keluarga di rumah. Masih ada yang nemenin, aman, pikiran saya. Mungkin kehadiran keluarga, saudara, sahabatlah yang membuat saya kuat. Mereka ngga perlu effort berlebih, cukup di samping saya please, membuat saya tahu bahwa saya ngga sendirian. So I decide the next morning untuk masuk sekolah aja. Di umur 15 tahun itu saya menyadari, pity on myself won't change anything, and I need to move on. Kenyataannya ya mama meninggal dan semua akan berjalan seperti biasa. Diam di rumah, ngga ngapa-ngapain malah bikin saya nyadar ada yang hilang dan saya belum siap untuk itu. Jadi tolong, biarkan saya hadapi ini secara perlahan dan anggap ngga ada yang berubah. 

Besokannya begitu sampai sekolah, tentu saja banyak teman sekelas bahkan guru yang kaget. Untungnya ada ratna, arbi, cholid yang bisa membuat hari pertama kembali masuk sekolah berjalan seperti biasa. Tetep ngejailin, bercanda, dan beneran deh saya berterimakasih sekali untuk mereka. Pulang sekolah pun, ini yang terberat. Pemandangan mama yang selalu tidur siang di kamarnya sambil pintu di buka setiap saya pulang sekolah, harus terbiasa melihatnya kosong sepanjang tahun. I was pretending mama selalu tidur di kamarnya, sampai entah kapan. Damn, I miss that kinda view. Saya yang langsung ganti baju lalu nyelinap di antara lengannya sambil tidur siang bareng until let's say jam 4 sore. Lalu mama akan bangunin sambil bilang: anak mama udah banguuuuun. Mama bikin apa tuh di kulkas? Coba sana liat! Yaah gua nangis lagi kan dah sekarang. 

Begitulah cara saya menghadapi masa berduka. Dan ada waktu saya sama papa lagi di mobil berdua, hujan, kita dengerin lagu Rolling Stone yang judulnya Empty Without You, lalu papa bilang: Dek, papa kangen sama mama. We both cried along the way, dan di situ saya tau saya nggak sendirian. It was a beautiful memory. Karena saya belajar, ayah saya juga manusia. Di situ saya semakin dekat sama papa, mas bala. Oh ya mas bala, ngga tau lagi saya kalo ngga ada dia yang ngebimbing selama grieving ini saya bakalan gimana. Cara menghibur dia (sampai saat ini) itu lucu. Saya lupa di jalan abis sedih kenapa, mas bala cuma nanya: mau beli rotiboy ga? Kita dateng ke mall terdekat, beli, lalu pulang. Tapi saya happy baaanget dalam perjalanan itu. Saya punya dua cowok luar biasa yang selalu bisa diandalkan. Mungkin ini yang dinamakan when you're losing, you find something. Proses menemukannya tentu ga secepat dan semudah yang dibayangkan, unless you're ready and be true to your feeling. Dan selama proses berduka ini walaupun kontradiktif, saya belajar bahwa it's okay kok untuk membohongi diri sendiri sampai kita bener-bener siap. Karena perasaan itu sendiri tricky, tersirat. Saat kita pikir udah deket sama apa yang dimau, ternyata kok bukan ini. Lalu kita ambil lagi jalan yang berbeda, kita gali lagi apa yang diingini, sampai akhirnya kita bisa bilang: ya, berhenti. Ini yang saya mau. Lagi-lagi saya harus menyetujui, percaya sama kata hati, karena dia akan menuntun. 

Maybe, this is why I insist to stay on this job. Bisa kumpulin memori mama saya dalam pekerjaan ini, mengenal dan memahami apa serta kenapa sifat beliau. Atau menyimpan bau parfumnya sampai saat ini. Bersepeda seperti olahraga favoritnya. Saya hidup dengan serpihan-serpihan memori tentang mama dan itu membuat saya bahagia. But don't get me wrong, saat ini saya juga punya ibu dan she's nice. I just want to keep my memory tentang mama, karena dia alasan keberadaan saya. 

Kepada siapapun yang sedang berduka, saya harap kamu bisa bertahan dan dapat melaluinya dengan baik. My mantra was: hanya karena dia tidak terlihat, bukan berarti dia tidak ada. Dia hidup kok di hati kita, so that's why we need to stay alive, jadi dia bisa tetap hidup bersama kita. So live a happy life as best as we could. Cheers!