Selasa, 26 Oktober 2021

Satu Langkah Kecil Menjadi Dewasa

Beberapa blog lalu suasanya terlihat murung ya? Hmm mungkin tanpa sadar, dengan berjalannya pandemi sampai sekarang dan banyak banget denger berita sedih maupun duka, nggak tertolong lagi alam bawah sadar minta dilepasin rasa murungnya. Huw. 

 

Anyway, sekarang situasi perlahan berangsur membaik. Angka positivity rate sudah mulai menurun, ngiung-ngiung ambulans sudah jarang terdengar, toa masjid yang ngumumin Innalillahi udah nggak terdengar lagi. Kita udah mulai boleh kumpul-kumpul dan sejauh ini masih cukup terkendali soal pakai masker dan keramaian. Mungkin banyak dari kita yang udah ngerasain gimana ga enaknya kena covid dan mengubah kesehariannya. Lalu kemarin ini, berkesampatan ngumpul bareng deh sama temen sma (hedith, ditha, dan herny). 

 

Seperti biasa, kita ngobrol ngalor ngidul tentang kabar, keseharian, keluarga dan sebagainya sebagai pemanasan. Kita tau percakapan berjalan lancar ketika udah masuk ngomongin daftar panjang mantan ditha pas sma. Kayak, beneran panjang banget dan kita harus saling ingetin ini yang mana dengan deskripsi kejadian aneh-anehnya aja gitu. Kayak, “mantan ditha yang X, yang pernah nembak sambil gigit bunga mawar!” atau “ih, cowok Y yang pernah ngeboncengin ditha di lampu merah permata ijo, terus digepin sama pacarnya ditha yang C di tengah jalan gara-gara kuteknya gonjreng!”. Lo, akan hidup dengan memori itu diotak kita tha. Luv u. 

 

Setelah sesi kuis mantan ditha yang mana selesai, baru kita ke topik geng pas SMA. Off course ada beberapa kejadian yang selalu jadi inti masa SMA kita. Tapi pas pertemuan kemarin, pembahasannya lebih mendalam dan gue nyadarin satu hal penting yang mungkin mempengaruhi kehidupan sosial kami. Biasalah, pas SMA pasti kita nge-geng. Pada saat itu, kita punya 1 geng dengan 13 anggota. Dalem hati, lu bikin pertemanan apa klub bola tong? Dan di pertemuan itu, gue diingetin lagi kalo kita tuh sempet ada geng di dalem geng yang ngebuat kita pecah dan ga bareng lagi. Di sini menariknya. 

 

Di umur 16, kita terbiasa untuk ngelakuin hal berdasarkan insting, secara impulsif, dan beraniMasih ada besok, apa sih yang ditakutin? Jadi ketika gue dikasih tau ada geng di dalem geng, yaa udah mau gimana lagi. Udah ada gerak-gerik saling ngehindar dan jaga jarak, jadi buat apa dikejar. Tapi terus memori gue nge-recall. Instead of ngebiarin mereka ngehilang dan bersikap kayak ngaak ada apa-apa, kita (gue lupa siapa yang inisiatif duluan), justru kumpul ber-13 di rumah hedith dan ngomongin masalah ini bareng-bareng. Intinya, mereka nggak suka kalo tiap istirahat dipaksa untuk harus kumpul bareng di depan salah satu kelas (menurut pemikiran gue juga, ngapain juga yak) dan kalo absen besokannya disindir. Masuk akal alasan mereka. Jadi yang kita lakuin pada sore itu, kita setuju untuk bubaran dan saling peluk-pelukan. Besokannya dan hari-hari berikutnya, hubungan kita jauh lebih baik dan sehat dari sebelumnya.

 

Gue mau apresiasi diri sendiri sama sahabat-sahabat gue pada saat itu. Kita semua masih muda, ada masalah dengan kelompok, dan kita bisa nyelesaiin dengan bicara baik-baik dan move on dari kejadian itu. Gila, orang dewasa aja belum tentu bisa ngelakuin hal itu. Mungkin ini jadi tahapan pembelajaran gue bahwa, kalo ada konflik tuh bisa loh diselesaiin dengan baik-baik. Semua pihak berkenan untuk saling mendengarkan, menyuarakan, dan menghargai apa yang dilakukan. Setelah keputusan sudah dibuat, bertanggung jawablah dan move on. Gue bersyukur banget di masa muda itu bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa ngebuat masa dewasa gue sedikit lebih menenangkan. Gue ternyata bisa nyelesaiin satu masalah besar tanpa harus memutus silahturahmi yang lain. 

 

Gue beruntung, lingkungan membawa gue ke tempat yang baik dan orang di sekitar cukup men-challengepemikiran untuk selalu berpikiran terbuka. Ini privilege, yang gue yakini dari doa yang dipanjatkan alm mama dan papa dari dulu. Gue berharap, naren juga diberi keberuntungan dan keberkahan untuk dikelilingi orang baik, yang bisa mengantarkan dia ke tempat yang lebih baik lagi. Sehingga dia cukup untuk mengenali dirinya, mengingat Allah dalam setiap tindakannya, serta bermanfaat bagi dirinya, orang di sekitarnya, dan lingkungannya. Amiin...

Sabtu, 11 September 2021

Beautiful Soul

 Saat berumur nanti, aku pingin kayak yangkung sutopo. Bayangin: Di suatu sore di kota Malang (atau kota mana pun yang sejuk dan udaranya seger banget!) kamu duduk di kursi teras sambil menunggu kopi hitam yang ada di sebelah mejamu tidak begitu panas. Kamu berdiri lalu menuju piano, kemudian melantunkan beberapa lagu untuk melatih kembali ingatanmu. Setelah dirasa cukup, kamu kembali pada kopimu lalu menghabiskannya, dan segera membersihkan halaman mungilmu agar kembali asri.

 

Di lain hari, kamu fokus menyelesaikan lukisan cat minyakmu yang rata-rata berisikan gambar bunga, sekumpulan orang bermain musik, atau pemandangan. Kalau pada sore itu kamu masih penuh energi, kamu akan menelpon teman-temanmu (yang jarak umurnya mungkin sepantaran anakmu) untuk bertemu di lapangan tennis dan memainkan permainan dengan santai. Atau ada hari di mana para tetangga melihatmu dengan vespa biru itu, sambil menenteng buah semangka di dalam tas jaring coklatmu, yang disangkutkan di bagian tengah motor. 

 

Yangkung, beneran deh. Pas masih kecil dulu, pemandangan ini terlihat sangat biasa dan nggak ada yang spesial. Tapi begitu aku beranjak dewasa dan melihat banyak hal, hal yang biasa ini jadi tujuan aku saat berumur nanti. Saat yangkung ke Jakarta, yangkung akan bergilir bermalam ke rumah anak-anak yangkung. Yangkung membuat teman baru di komplek tempat tinggal kami, untuk diajak olahraga tennis bareng. Yangkung membuat teman di mana pun yangkung berada. Mereka semua mengingat yangkung sebagai seorang yang hangat dan penuh energi. 

 

Yangkung nggak pernah banyak bicara, tapi dalam diamnya punya kemampuan untuk membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Selalu membaca buku atau koran di waktu senggangnya, sehingga saat berbicara dengan orang lain, punya sudut pandang yang luas. Aku selalu suka pemandangan teras rumah mayang saat menjelang waktu lebaran. Anak-anak yangkung duduk melingkar, sambil bercanda satu sama lain hingga larut malam. Para cucu sibuk makan bakso atau berebut skateboard,yang sampai sekarang kita semua nggak ada yang tau cara pakenya gimana. 

 

Saat kepergian oma, yangkung menolak tinggal di Jakarta dan memilih tinggal sendiri di Malang. Aku saat itu terlalu muda untuk tau atau paham apa yang bisa ku lakukan untuk menemani yangkung. Padahal aku bisa ya telpon yangkung untuk sekedar bertanya kabar dan menceritakan hariku dan mengunjungi yangkung saat berlibur. Lalu saat yangkung berpulang, MashaAllah, banyak banget temen-temen yangkung. Yangkung begitu dicintai! Dan kak santi menyadarkan aku, keluarga sutopo ini adalah panutan dalam berkeluarga. Mulai dari akhlak, cara berkomunikasi, sampai belajar batas dan menghargai sifat tiap individu.

 

Yangkung, terimakasih telah memberikan contoh serta menginspirasi. Aku beberapa kali mimpiin yangkung dan beneran kangen banget sama yangkung. Kami semua di sini hidup dengan baik serta rukun, yangkung. Salam untuk mama dan oma di sana yaa...




Tulisan yangkung tentang perjalanan hajinya

Manis, kan?


Jumat, 03 September 2021

Ke Mana Perginya Mereka yang Sudah Meninggal?

Saya tau, mereka berada di akhirat sedang menunggu datangnya hari kiamat, menunggu waktu perhitungan tiba. Itu yang saya pelajari sejak sekolah dasar, sampai saat ini diyakini, sambil menunggu waktunya tiba. Pertanyaan di atas itu bukan ditujukan untuk mereka yang pergi, tapi untuk saya, kita yang bertahan. Kita yang terus menjalani hari, satu demi satu langkah memulai sesuatu, menghabiskan yang tadinya detik, menjadi menit, lalu ke jam.. Begitu terus. 

 

Baru-baru ini saya merapihkan rumah dan mendapati diri saya berada di tumpukan boks berisi foto, buku, dan dokumen almarhum mama. Saya buka satu persatu, saya lap debunya sambil mengagumi apa yang dilakukannya. Perasaan ini hangat, hati ini penuh. Tahun ini sudah masuk 15 tahun meninggalnya mama, angka yang sama di usia saat mama meninggal. Saya sibuk menjalani hidup, tapi ingin sekali berhenti di peringatan tahun ke 15 ini untuk berdiam lebih lama. Kenapa? Just wondering, separuh hidupku dengan kehadiran mama dan separuhnya lagi hidup dengan berpegangan memori tentangnya. 

 

Tanggal 1 maret 2021 itu saya lalui dengan berdoa dan mencoba berkomunikasi dengan diri sendiri dan (seolah-olah) dengan mama. Semuanya berjalan lancar sampai ada satu perasaan yang ingin dikeluarkan tapi saya ngga tau apa. Saat itu saya cuma pingin nangis sambil babbling apa aja yang ada di hati. Sampai akhirnya ke luar satu perasaan inti, yang menurut saya paling masuk akal untuk menjelaskan sikap saya beberapa tahun ini. 

 

“Aku takut lupa memori tentang mama…”

 

As I grow older, I made a lot of memories. Hari itu saya takut, setakut itu untuk kehilangan memori tentang mama. Karena kamu tau kan cara kerja memori. Kamu pilih yang paling berkesan dan menarik, lalu kamu putar itu terus menerus-menerus sampai memenuhi dahagamu. Terus apa yang terjadi kalo kamu memilih memori yang sama selama 15 tahun? Kamu mendambakan memori yang baru karena yang lama menjadi usang. Saya, menjadi seorang manusia biasa, yang ingin memiliki sesuatu yang lebih.

 

Kembali pada siang itu dengan tumpukan boks berdebu berisikan album foto mama. Saya kaya lagi dikasih update software. Menghubungkan puzzle lama dan mencoba memahami setiap tindakannya. Mencoba menerka, apa yang ada di pikirannya? Siapa yang influence kamu saat itu, ma? Begitu banyak pertanyaan dengan minim jawaban. Masih sibuk membuka foto dan folder milik mama, sampai pada akhirnya saya menemukan satu titik pemahaman lagi. Pada akhirnya semua orang yang hidup, akan berubah menjadi memori, dan diabadikan dalam setumpuk dokumen. Eksistensi orang itu, pada akhirnya menjadi sebuah dokumen. Entah berupa foto, nilai rapot, ijazah, piagam, sertifikat. Kertas-kertas itu yang menceritakan secara singkat perjalanan hidup seseorang dari akta kelahiran sampai berakhir di sertifikat kematian. 

 

Saya akhirnya memahami, ada sebagian orang yang pada akhirnya menyimpan setumpuk dokumen dan barang (yang mungkin menurut kita buat apa sih disimpan?) sampai akhirnya termakan waktu dan terlupakan. Karena bend aitu menyimpan banyak sekali memori, yang mungkin di waktu yang tepat saat kamu buka kembali, bisa menyelamatkanmu. Masa kejayaan itu, masa di mana kamu hidup hanya untuk momen itu, masa di mana yang membuat kamu bisa bertahan sampai sejauh ini. Entah itu sebuah foto, buku catatan pelajaran, sepatu yang sudah usang, setiap kamu pegang lagi bendanya, seperti dalam mesin penjelajah waktu. Kamu ingat betul kapan mendapatkannya, apa yang terjadi, sehingga menjadikanmu menjadi seorang yang seperti apa. 

 

Menutup blog kali ini, saya kutip dari film favorit saya Reply 1994. Untuk aku yang berhasil bertahan 15 tahun dengan memori mama. 

 

“I thought it would hurt less as time passes by. But the older I get, the more I miss her”

 

dari aku, yang rindu sekali sama mama :)

Minggu, 13 September 2020

Midnight Overthinking

 Berapa kali sih kejadian pas kita otw tidur, tiba-tiba keingetan aja silly things masih kecil dulu. Like, why the hell did you do THAT!?  Terus malu sendiri... tambah ga bisa tidur. Yha~ Tapi sekarang kayanya gua punya sudut pandang baru deh kenapa ngelakuin hal ajaib itu. Because we were young, we don't complicate simple things. Kita hidup pada hari itu, rasa penasaran tumbuh dan pingin banget tau apa sih ini? We just do it... and we learn. Rasa malunya kan baru tumbuh saat kita dewasa. Saat kita baru ngeh bahwa we are free to choose but we are not free from the consequences. 

Jadi balik lagi dengan hal aneh yang dilakuin jaman dulu. Kalo bisa muter waktu dan dikasih kesempatan buat nunda kejadian itu, gua rasa gua bakal mampir Indomaret dulu beli susu beruang sama sari roti, terus duduk dipojokan ngetawain tingkah Bani yang dulu. Karena secara tidak langsung, kejadian dan akumulasi dari kejadi-kejadian itu, yang ngebentuk gue sekarang. And I thank you for that. 

Salah satu contoh, gue punya sahabat baik dari SD. Menurut gue, hidup dia itu ngga gampang dan somehow dia bisa jalaninnya sambil bertingkah selayaknya anak SD. I adore her a lot! Gue yang saat itu masih 12 tahun dan nggak bisa nahannya, kadang suka nangis sendiri di kamar dan kegep sama nyokap. Singkat cerita, gue curhat lah sama nyokap dan she takes it seriously. Semua berjalan baik-baik aja, sampai suatu hari nyokap jemput sekolah dan minta dianterin ke rumah sahabat gue ini. Dia kasih tau kalo mau ngomong sama nyokap sahabat untuk kasih perspektif dari segi orang tua ke anak. Satu sisi gue ngerti bahwa niat nyokap baik, dia mau ngelakuin sesuatu untuk sahabat gue ini. Akhirnya kita pergilah dan di rumahnya gue main sama sahabat, sementara ibu-ibu ngobrol berdua. Begitu pulang dan sampai rumah, gue telpon rumah sahabat gue, dia nggak mau jawab telpon sama sekali. Gue udah feeling, dia bakalan marah T~T Berkali-kali gue coba telpon, sampai akhirnya dia mau angkat dan bilang: Lo cerita apa ke nyokap? Di situ gue coba jelasin dan dia tetep marah. Kejadian ini bikin gue kehilangan kontak sama temen gue sekitar 2-3 tahun. Kemudian dia tiba-tiba sms gue untuk nanya kabar aja, deg-degannya kaya apaan tau. Because I don't want to loose her anymore. 

Kejadian ini tuh ngasih impact besar ke kehidupan gue sampai saat ini. Pertama, amanah. Sekalinya orang udah cerita sama lo, itu artinya dia percaya sama lo dan pegang kepercayaan itu. Kedua, kadang orang cerita tuh untuk ngelampiasin emosi, ngga melulu tentang solusi. Jadi sahabat dan pendengar yang baik aja buat dia, itu udah lebih dari cukup kok. Ketiga, kalo gue bisa bilang ke nyokap, it would be nice sebelum ke rumah sahabat, tanya dulu bersedia atau enggaknya gue dan dijelasin konsekuensinya apa. Keempat, gue jadi jauh lebih berani untuk minta maaf dan ngejalanin resiko atas kesalahan atau keteledoran gue. Kalo dipikir lagi ya, mungkin emang hal-kecil-yang-bikin-malu ini yang secara ga sadar, bikin kita tumbuh dewasa. 

Jadi, buat yang namanya Rinjani, gue minta maaf banget ya dulu pernah ngecewain lo huhuhu. I've learned my lesson dan semoga bisa dijalanin terus sampai nanti. Sehat dan bahagia terus ya rin! 

Minggu, 17 Mei 2020

Grieving



There's something you need to know about grieving, terutama mereka yang menghadapi kematian. Flash back through 2006, on march 1st to be exact. It was a vivid memory, tapi saya ingat sekali perasaanya di setiap menitnya.

Pukul 3 pagi, telepon rumah berbunyi. Saya tau, berita itu akan datang. Lagipula mana ada berita baik lewat telpon rumah jam 3 pagi sih? Setelah tutup telpon, mba saya coba membangunkan dan entah kenapa saya pingiiin banget denger dia ngomong langsung ke saya apa berita dari papa itu. "Kenapa? Papa ngomong apa? Yaudah ntar aja, masih ngantuk" Sementara dia terus coba bikin saya telpon papa, because I know, dia ngga akan sampai hati untuk sampaikan pesan bahwa mama meninggal.

Lalu telepon rumah kembali berbunyi, kali ini mbak bener-bener memastikan saya bangun untuk angkat telponnya. Papa menyampaikan pesannya, lalu saya kembali ke kamar dan rebahan. Berusaha tidur yang pastinya ngga bakalan bisa. Kemudian semuanya berjalan cepat; saudara tiba di rumah, saya disuruh mandi dan sarapan sambil bengong. Lupa, sempet nangis ga ya. Yang pasti baru pecah begitu ada om tetangga yang telpon (padahal kita ga pernah ngobrol sama sekali) nanyain papa di mana, papasan sama suara mobil jenazah and it really hits me: mama dateng. 

Tadinya saya mau bilang pas liat kondisi mama, berasa kebas. Tapi engga, sempet nangis kok walaupun cuma sebentar. Mungkin bukan kebas, lebih tepatnya saya ngga suka ngeliat mama dengan kondisi pucat dan kaku seperti itu. I want to remember her as an energetic woman, ceria, cantik, penuh kehangatan. So I barely looking at her face on that day. Saya mau selalu mengingat mama dengan versi yang berbeda. Dan di hari itu saat semua orang datang berduka, memberikan pelukan, saya di umur 15 tahun, menyadari bahwa it's just a temporary. Setelah ini selesai, mereka pulang dan menjalani kehidupan mereka seperti biasa. Sementara saya? Begitu mereka pulang, inilah grieving saya yang sebenarnya. Bukan perpisahan atau melihat mama saya yang terakhir kali yang membuat saya, atau orang yang ditinggalkan ini  sedih. Tapi ngejalanin hari-hari, rutinitas, kebiasaan yang selama ini dilakukan dan kenyataannya mereka ngga ada lagi di samping kita, that's the real deal. Jadi saya putuskan pada haru itu, saya ikuti saja alurnya.

Mereka datang, mendoakan mama, menghibur kami, sampai ada waktu saya lupa mereka ke sini buat apa sangking senengnya dihibur sama temen-temen. Tante saya bahkan sampai harus ngingetin untuk jaga suara dan mengingatkan kalau saat ini saya harusnya berduka karena mama meninggal. Jadi ya saya kembali masuk rumah dan menangis lagi.

Acara pemakaman selesai, hanya beberapa keluarga di rumah. Masih ada yang nemenin, aman, pikiran saya. Mungkin kehadiran keluarga, saudara, sahabatlah yang membuat saya kuat. Mereka ngga perlu effort berlebih, cukup di samping saya please, membuat saya tahu bahwa saya ngga sendirian. So I decide the next morning untuk masuk sekolah aja. Di umur 15 tahun itu saya menyadari, pity on myself won't change anything, and I need to move on. Kenyataannya ya mama meninggal dan semua akan berjalan seperti biasa. Diam di rumah, ngga ngapa-ngapain malah bikin saya nyadar ada yang hilang dan saya belum siap untuk itu. Jadi tolong, biarkan saya hadapi ini secara perlahan dan anggap ngga ada yang berubah. 

Besokannya begitu sampai sekolah, tentu saja banyak teman sekelas bahkan guru yang kaget. Untungnya ada ratna, arbi, cholid yang bisa membuat hari pertama kembali masuk sekolah berjalan seperti biasa. Tetep ngejailin, bercanda, dan beneran deh saya berterimakasih sekali untuk mereka. Pulang sekolah pun, ini yang terberat. Pemandangan mama yang selalu tidur siang di kamarnya sambil pintu di buka setiap saya pulang sekolah, harus terbiasa melihatnya kosong sepanjang tahun. I was pretending mama selalu tidur di kamarnya, sampai entah kapan. Damn, I miss that kinda view. Saya yang langsung ganti baju lalu nyelinap di antara lengannya sambil tidur siang bareng until let's say jam 4 sore. Lalu mama akan bangunin sambil bilang: anak mama udah banguuuuun. Mama bikin apa tuh di kulkas? Coba sana liat! Yaah gua nangis lagi kan dah sekarang. 

Begitulah cara saya menghadapi masa berduka. Dan ada waktu saya sama papa lagi di mobil berdua, hujan, kita dengerin lagu Rolling Stone yang judulnya Empty Without You, lalu papa bilang: Dek, papa kangen sama mama. We both cried along the way, dan di situ saya tau saya nggak sendirian. It was a beautiful memory. Karena saya belajar, ayah saya juga manusia. Di situ saya semakin dekat sama papa, mas bala. Oh ya mas bala, ngga tau lagi saya kalo ngga ada dia yang ngebimbing selama grieving ini saya bakalan gimana. Cara menghibur dia (sampai saat ini) itu lucu. Saya lupa di jalan abis sedih kenapa, mas bala cuma nanya: mau beli rotiboy ga? Kita dateng ke mall terdekat, beli, lalu pulang. Tapi saya happy baaanget dalam perjalanan itu. Saya punya dua cowok luar biasa yang selalu bisa diandalkan. Mungkin ini yang dinamakan when you're losing, you find something. Proses menemukannya tentu ga secepat dan semudah yang dibayangkan, unless you're ready and be true to your feeling. Dan selama proses berduka ini walaupun kontradiktif, saya belajar bahwa it's okay kok untuk membohongi diri sendiri sampai kita bener-bener siap. Karena perasaan itu sendiri tricky, tersirat. Saat kita pikir udah deket sama apa yang dimau, ternyata kok bukan ini. Lalu kita ambil lagi jalan yang berbeda, kita gali lagi apa yang diingini, sampai akhirnya kita bisa bilang: ya, berhenti. Ini yang saya mau. Lagi-lagi saya harus menyetujui, percaya sama kata hati, karena dia akan menuntun. 

Maybe, this is why I insist to stay on this job. Bisa kumpulin memori mama saya dalam pekerjaan ini, mengenal dan memahami apa serta kenapa sifat beliau. Atau menyimpan bau parfumnya sampai saat ini. Bersepeda seperti olahraga favoritnya. Saya hidup dengan serpihan-serpihan memori tentang mama dan itu membuat saya bahagia. But don't get me wrong, saat ini saya juga punya ibu dan she's nice. I just want to keep my memory tentang mama, karena dia alasan keberadaan saya. 

Kepada siapapun yang sedang berduka, saya harap kamu bisa bertahan dan dapat melaluinya dengan baik. My mantra was: hanya karena dia tidak terlihat, bukan berarti dia tidak ada. Dia hidup kok di hati kita, so that's why we need to stay alive, jadi dia bisa tetap hidup bersama kita. So live a happy life as best as we could. Cheers!

Sabtu, 28 September 2019

24 m

Dua tahun setelah postingan terakhir. Perasaannya masih sama, setiap buka lagi tulisan dulu tuh... hangat. Ada gadis pemberontak di dalam sana, mempertanyakan semua hal dan mengikuti rasa penasarannya. Benar ya, all you have to do is asking the right questions. Walaupun dewasa ini sering kali didapati bahwa ya... sometimes curiosity kills the cat, tapi gadis ini mikirnya: peduli amat, urusan entar.

Semakin berumur, semakin banyak yang dijadikan pertimbangan. Harus lebih hati-hati, lebih bijak dalam bertindak. Unsur fun mah tetep adaa, cuma bentuknya aja yang beda. I'm not complaining about me getting older dengan rengekan klise. Ya namanya juga hidup, semua berubah. Nggak ada yang nggak pasti, karena yang pasti cuma ketidakpastian. So you have to seize the moment. Setiap doa, saya selipkan kalimat "semoga penuh berkah dan menyenangkan!". Karena kalo ga bisa seneng-seneng, ribet idup lu sisteuuuuur

Jadi, apa yang berubah dari dua tahun ini? Well, nothing much. Cuma sekarang sudah menikah dengan pria yang melengkapikuu (suka bersih-bersih sementara aku AHAHAHAHA), anak bayi gemas yang doyan banget gigit kabel yaampun, dan dalam waktu beberapa minggu lagi akan kembali mengudara.

Manusia dengan pilihannya. Either you choose wisely or poorly, at least be a good storyteller. Biar kalo ga ada faedahnya pun, tetep bisa jadi bahan lawakan gitu.



Have a great day!

Rabu, 13 September 2017

The Part When You're an Adult

Hai! Udah lama ya ngga ketemu hihihi. It feels sooo good untuk bisa lihat lagi tulisan blog yang lama dan menyadari bahwa kamu punya sebuah sosok yang begitu... berani dalam diri kamu. Dia yang berawal dari rasa ingin tahu, kemudian mempertanyakan, lalu menyamakan kembali dengan hati nuraninya, kemudian jatuh, lalu bangkit lagi dengan tegak sambil terus mengikuti naluri keingintahuanmu. Kamu yang berprinsip dan berani untuk meyakini apa yang kamu percaya.

Kemudian, kamu melihat banyak hal.
Kamu melihat begitu banyak hal untuk dimengerti. Kamu belajar untuk mendengarkan, menguji empati. Belajar untuk berbicara dan meyakini apa yang benar. Belajar untuk bersikap dan menghadapinya dengan tenang. Seriusan deh, dunia udah segila ini ya. No, I won't share you tentang berita kriminal atau penipuan makanan berformalin dalam blog ini. Ini lebih parah. Orang-orangnya omagaaaaah! Banyak orang tiba-tiba jadi lebih sensitif, egois, self-centered, ibaratnya barang kargo nih ya, semua badan sama hati isinya pecah belah dan biar pada tau dikasih tempelan warna orens gede-gede yang tulisannya dikasih bold dan underline: FRAGILE, di setiap sudut bagian tubuh. Kasih emoji sedih nangis dulu boleh yaa (T~T) (T~T) (T~T)

Pernah nemuin satu momen di mana I was so fed up with all of these things. Ga cocok. Semua yang dulu kamu percaya dan yakini, ternyata bertentangan dengan kenyataan. Kalau kata orang jaman dulu, katanya udah mau akhir jaman karena semua mua muanya serba kebalik. Dan saya capek harus terus menemukan fakta baru bahwa apa yang dulu saya percaya, lagi-lagi ga cocok sama kenyataannya. Sampai akhirnya saya minta sosok yang dulu saya banggakan itu, untuk diam. And the next thing I know, I become emotionally numb. Menjadi kebal dengan sekitar, menyelamatkan diri sendiri, tidak peduli, apatis. Saya mulai terbiasa dan membiasakan diri untuk menjadi seperti itu.

Tapi ternyata susah ya. Apalagi dengan kerjaan yang bikin saya pergi ke sana-sini, ketemu banyak orang yang begitu beragam dan latar belakang yang berbeda. Ada banyak orang yang saya temui, they give me sparkle in their eye. Saya kira hal-hal seperti ini cuma ada di film, tapi ternyata engga. Ternyata dari interaksi itu, menumbuhkan rasa hangat di hati kamu. Memberi kamu arapan, kalau kamu kamu engga sendirian. Interaksi yang berasal dari rasa tulus, murni, apa adanya, membuat kamu yakin bahwa ditengah ke-chaos-an lingkungan saat ini, kamu memlilih untuk kembali percaya dengan nurani kamu. Kamu punya pilihan: untuk ikut tenggelam dengan rasa kekecewaan, kekesalan, amarah kamu, atau kita cari jalan yang lebih menyenangkan. Kalo ambil dari hukum kekekalan energi, energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain; namun tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan. Cari cara masing-masing untuk bisa release, then start to make an action. Tidak harus besar, dimulai dari hal kecil dan konsistenlah. Dan di sini saya mulai sadar untuk pentingnya punya prinsip.

Ohya, saya pernah baca di 9Gag tentang seorang veteran yang mengkritik tentang era kita. Afterall, we're living in the most peaceful time in human history. Setiap masa punya konfliknya masing-masing. Manusia pernah hidup di mana perperangan hampir terjadi setiap hari, perbudakan. Dan konflik millenial sekarang yang sering terjadi adalah, Wifi ga ada dan kuota abis. Saaad. Jadi yaudah, tergantung kitanya mau ambil sikap yang mana. Ya ngga sih?